Advertisement
Konsep 7×3 atau parenting yang diterapkan oleh Ali Bin Abi Thalib saat ini menjadi salah satu metode mendidik anak sejak dini dalam hal akhlak serta norma dan etika seorang anak terhadap keluarga maupun lingkungannya.
Advertisement
Seperti yang disampaikan dalam ungkapan Khalifah Ali Bin Abi Thalib terkait konsep 7×3, berikut ini:“Ajari anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka (anak-anakmu) hidup di zaman mereka, bukan di zamanmu. Sesungguhnya mereka diciptakan untuk zamannya, sedang kalian untuk zaman kalian (Ali Bin Abi Thalib RA).
Kaitan Konsep 7×3 dengan Situasi Saat ini
Ungkapan Khulafaur Rasyidin yang dikenal dengan konsep 7×3 ini seperti tak lekang di makan zaman, konsepnya bisa diaplikasikan hingga kini bahkan menjadi teladan bagaimana mendidik anak yang baik secara Islam.
Karena Islam mengerti bahwa ilmu bersifat dinamis yang selalu berubah dan berkembang setiap masa sehingga penerapannya pun harus disesuaikan dengan zamannya.
Advertisement
Lebih spesifik penjabaran ungkapan Ali Bin Abi Thalib itu dibagi dalam tiga tahap penting proses pembentukan karakter dalam mendidik anak. Konsep ini dikenal dengan konsep 7×3.
Tahapan Konsep 7×3
Tahapan konsep 7×3 dimulai dari anak usia 0-7. Pada tahap ini, anak diperlakukan layaknya seorang raja. Di usia itu, seorang anak masih dalam proses belajar dan mengenal termasuk melihat sikap dan perlakuan orang tua kepadanya.
Jika orang tua mencurahkan kasih sayang dan kelembutan kepada anak, maka ia akan tumbuh dan besar menjadi sosok yang lemah lembut dan penyayang kepada sesama makhluk.
Dalam konsep 7×3 ini, Ali Bin Abi Thalib menilai seorang anak harus dilayani sepenuh hati dan ikhlas. Karena, semua yang dilakukan orang tua kepadanya akan memiliki dampak pada perkembangan perilaku dan karakternya.
Akan tetapi, menempatkan anak sebagai raja pada usia itu, tak lantas menempatkan anak sangat istimewa sehingga membuat anak menjadi manja dan malas. Orang tua juga tetap perlu bersikap tegas terhadap hal-hal tertentu.
Fase selanjutnya adalah ketika usia anak memasuki 8-14 tahun. Pada tahap ini, anak dijadikan sebagai tawanan. Tawanan dalam fase ini bukan lantas diartikan secara harfiah. Tawanan dalam artian anak sudah tumbuh besar. Saatnya diberikan dan pemahaman akan hak dan kewajibannya. Akhlak dan akidah dan sesuatu yang boleh dan dilarang sudah seharusnya dipahami dan dipatuhi anak, meski demikian mereka tetap mendapatkan haknya secara proporsional.
Misalnya, kewajiban untuk menjalankan ibadah, menghormati orang tua, menjaga pergaulan serta disiplin dalam berbagai hal adalah bagian dari kehidupannya ketika ini. Pada fase ini, orang tua harus mengawasi lingkungan pergaulan anak mengingat pada masa ini anak sedang berada pada transisi masa pubertas.
Tahap ketiga atau tahap terakhir dari konsep 7×3 adalah anak usia 15-21. Disini anak ditempatkan sebagai sahabat, mengingat pada masa ini anak sudah memasuki akil baligh, peran orang tua yang ideal adalah menempatkan anak sebagai sahabat.
Karena pada masa ini, anak sudah mengalami banyak perubahan mulai dari fisik, mental, dan lingkungan pergaulannya yang rentan akan gesekan dengan apa yang telah diajarkan oleh orang tua.
Layaknya sahabat, orang tua harus bisa mengerti, mendengarkan agar anak mau terbuka apa yang sedang ia alami. Penerapan sikap yang cenderung otoriter terhadap anak pada masa ini justru akan membuat anak terkekang dan berupaya mencari ‘tempat’ yang berbeda di lingkungan lain.
Anak yang diposisikan sebagai sahabat akan merasa dihargai, rasa percaya dirinya pun tumbuh dengan baik dengan pribadi Islam yang kuat sehingga mereka mampu melakukan filter dalam pergaulannya.
Sehingga ketika anak terjun di masyarakat, ia sudah memiliki bekal yang kuat melalui nilai-nilai yang ditanamkan orang tua kepadanya. Ia menjadi cermin kebaikan, tingginya akhlak dan generasi yang amanah yang sesuai dengan kaidah-kaidah Islam.